Jung Majapahit

For Sale
Replika miniatur Jung Majapahit
Dimensi Panjang 40cm x lebar 20cm x tinggi 30cm
08 -123456- 9477

.
Rp 1.500.000 1.250.000

Dikutip dari Wikipedia

   Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Melayu. Perkataan itu dulunya dan sekarang dieja sebagai "jong" dalam bahasa asalnya, ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda. Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Ghana atau bahkan Brazil di zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 400-500 ton mati, dengan kisaran 85-2000 ton. Pada zaman Majapahit kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut.
   Terdapat pandangan berbeda tentang apakah asal namanya itu dari dialek Cina, atau dari kata Jawa. Kata jong, jung atau junk dapat berasal dari kata Cina untuk kapal (船),tadinya diucapkan sebagai ɦljon di bahasa Cina kuno. Namun, Paul Pelliot dan Waruno Mahdi menolak asal Cina untuk nama itu. Yang lebih mendekati adalah "jong" dalam bahasa Jawa yang artinya kapal. Kata jong dapat ditemukan dalam prasasti Jawa kuno abad ke 9. Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Cina pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata China mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal, dengan demikian secara praktis menolak asal kata Cina untuk nama itu. Undang-undang laut Melayu yang disusun pada akhir abad ke-15 sering menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang.
    Asal kata "junk" dalam bahasa Inggris, dapat ditelusuri ke kata Portugis "junco", yang diterjemahkan dari kata Arab j-n-k (جنك). Kata ini berasal dari fakta bahwa aksara Arab tidak dapat mewakili digraf "ng". Kata itu dulunya digunakan untuk menunjukkan baik kapal Jawa / Melayu (jong) dan kapal Cina (chuán), meskipun keduanya merupakan kapal yang sangat berbeda. Setelah hilangnya jong pada abad ke-17, makna kata "junk" (dan kata-kata serupa lainnya dalam bahasa Eropa), yang sampai saat itu digunakan sebagai transkripsi kata "jong" dalam bahasa Melayu dan Jawa, berubah artinya menjadi hanya merujuk kapal Cina saja.
   Perkataan "jung" juga boleh diperkatakan berasal dari bahasa Tionghoa, yaitu Teow Chew dan Hokkien yang berasal dari selatan China. Dalam bahasa Teow Chew kapal jung disebut "jung" dan dalam bahasa hokkien disebut sebagai "jun". Teknologi perkapalan China mempunyai sejarah yang lama sejak Dinasti Han (220 SM-200 M), tetapi pada saat ini masih berupa kapal-kapal pengarung sungai, bukan pengarung samudera. Untuk mengarungi samudera, orang China pada waktu itu justru lebih suka menumpang kapal-kapal negeri "K'un-lun", yang merujuk pada Jawa dan Sumatra. Orang-orang Nusantara biasanya menyebut kapal China yang besar sebagai "wangkang", sedangkan yang kecil sebagai "top". Ada juga sebutan dalam bahasa Melayu "cunea", "cunia", dan "cunya" yang berasal dari dialek Amoy China 船仔 (tsûn-á), yang merujuk pada kapal China sepanjang 10–20 m.
   Kata "djong" sendiri adalah penulisan Belanda untuk jong, karena fonem [d͡ʒ] ditulis sebagai /dj/, sedangkan pada penulisan di Indonesia digunakan kata jong.
   Barbosa juga melaporkan berbagai barang yang dibawa oleh kapal-kapal ini, yang meliputi beras, daging sapi, domba, babi, dan rusa, baik dikeringkan dan maupun diasinkan, juga banyak ayam, bawang putih, dan bawang. Senjata yang diperdagangkan termasuk tombak, belati, dan pedang, semuanya dengan logam berornamen dan baja yang sangat bagus. Juga dibawa dengan mereka kemukus dan pewarna kuning yang disebut cazumba (kasumba, curcuma, kunyit?) dan emas yang diproduksi di Jawa. Barbosa menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi kapal-kapal ini, yang meliputi Malaka, Cina, Kepulauan Maluku, Sumatra, Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden. Para penumpang membawa istri dan anak-anak mereka, bahkan sampai-sampai beberapa dari mereka tidak pernah meninggalkan kapal untuk pergi ke pantai, juga tidak memiliki tempat tinggal lain, karena mereka dilahirkan dan mati di kapal. Dari catatan historis, diketahui bahwa kapal yang terbuat dari kayu jati dapat bertahan hingga 200 tahun.
   Pada 1322 rahib Odoric dari Pordenone melaporkan bahwa kapal Nusantara dari tipe zunc[um] membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang. Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi mereka dikelompokkan menjadi 5 armada. Jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai. Setiap kapal berukuran panjang sekitar 70 meter, berat muatan sekitar 500 ton dan dapat membawa 600 orang. Yang besar dapat membawa 800 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 91.44–100 m). Kapal ini dipersenjatai meriam sepanjang 3 meter, dan banyak cetbang berukuran kecil.[2] Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil,[39] kapal besarnya adalah kapal-kapal jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wagunan ring Tatarnagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik China dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.

Selengkapnya di Wikipedia